Filsafat dan mitos-mitos air dalam diskursus bencana :Tinjauan khusus budaya sunda
Siapapun sepakat bahwa air adalah sumber kehidupan. Air juga merupakan satu-satunya pembeda antara bumi dengan planet lainnya dalam tata surya yang menyebabkan bumi layak dihuni oleh manusia. Namun, siapapun juga tahu bahwa air adalah salah satu sumber bencana. Tsunami dan banjir adalah bukti dari dahsyatnya bencana yang ditimbulkan oleh air. Oleh karena itu, mengkaji air dalam bencana tidak akan kalah menarik dari mengkaji efek bencana yang disebabkan oleh air.
Jika air adalah faktor penting penyebab bencana, barangakali pandangan masyarakat tentang air akan menentukan cara-cara mengatasi bencana yang disebabkan oleh air. Pandangan masyarakat tersebut dengan gamblang atau tersirat terukir dalam cara-cara mereka dalam menginterpretasi dirinya, Tuhan dan alam. Saya berasumsi bahwa pemahaman tersebut sedikit banyak akan berpengaruh terhadap kesiap-siagaan (disaster preparedness) mereka dalam menghadapi bencana.
Sunda dan filsafat air
Tulisan ini akan mecoba melihat pesan-pesan kesiap-siagaan dalam menghadapi bencana dalam filsafat dan mitos-mitos air yang ada di masyarakat Sunda. Saya lihat dalam budaya masyarakat Sunda terdapat pemahaman yang mendalam terhadap air sebagai hasil persinggungan dan perenungan philosophisnya. Air dalam filsafat (pandangan hidup) masyarakat Sunda adalah simbol identitas komunitas yang kemudian mentradisi dalam ritual dan pandangan keduniaan.
Ada beberapa ahli yang berpendapat bahwa identitas masyarakat Sunda adalah masyarakat air. Pertama Hidayat Suryalaga (2004). Ia mengatakan bahwa Sunda itu air, karena kata Sunda dalam bahasa Sanksakerta bermakna air. Tampaknya ia lebih menekankan kepada identitas Sunda secara geneologis yang dipengaruhi oleh kebudayaan Sunda lama, terutama pada masa kerajaan-kerajaan Sunda dimana pengaruh agama India sangat kuat. Selanjutnya Karl A. Witfogel (2003), seorang sarjana Jerman dalam majalah Cupumanik ia mengkatagorikan masyarakat sunda sebagai hydrolic society. Masyarakat jenis ini hidupnya tidak terlepas dari air, bahkan pandangan hidupnya terbentuk dari refleksinya atas air.
Saya kira mencari geneologi orang Sunda dilihat dari sejarah mentalitasnya tidak mudah dibuktikan dalam konteks Sunda modern. Meskipun begitu, saya lihat ada satu indikasi yang menggambarkan kedekatan masyarakat Sunda dengan air yang pada taraf tertentu mendekati thesisnya Suryalaga dan Witfogel di atas yaitu adapatasi nama-nama komunitas terhadap unsur-unsur air. Misalnya nama-nama tempat yang di awali oleh kata “ci” yang berarti air. Adapatasi tersebut kemudian membentuk semacam identitas komunitas dalam bentuk nama-nama kota, kampung, dan juga barang-barang pusaka.
Sebagai bukti di Jawa Barat terdapat ratusan, bahkan ribuan, nama-nama tempat yang di awali kata “ci”, seperti Cianjur, Cimalaka, Ciasmay, dll. Selain itu masih banyak pula nama daerah yang diawali kata yang bermakna air dalam kadar, kondisi, dan di tempat tertentu. Misalnya kata: Andir, Empang, Parigi, Bendungan, Balong, Léngkong, Parung, Dermaga, seke, Ranca, Curug, Parakan, Rawa, Talaga, Kali, Solokan dll.” Air dalam pengertian di atas bermakna ruang eksistensi manusia. Karena kata “Cimalaka,” ia tidak lagi dimaknai secara terpisah sebagai “air” yang ada di daerah “Malaka”, tetapi sebagai tanah air.
Mengapa masyarakat Sunda cenderung mengatributi tempat tinggal mereka dengan air? Barangkali persoalannya bukan semata-mata air, tetapi menunjukkan sesuatu yang lebih dalam daripada air. Saya memahami air sebagai bagian dari sistem ekologi. Asumsi saya, penggunaan air sebagai identitas komunitas bisa jadi menunjukkan sebuah pandangan hidup komunitas yang bersifat ekologis. Menurut Sony A. Keraf (2006) masyarakat ekologis memandang alam sebagai sebuah ekosistem hidup. Antara manusia dan alam mempunyai ketergantungan yang tinggi satu sama lain. Sehingga eksistensi alam adalah eksistensi manusia, dan sebaliknya.
Konsepsi alam yang ekologis tersebut kemudian mengarahkan kepada pandangan alam, terutama air, sebagai yang “sakral.” Makna air/tanah air sendiri dalam kamus bahasa Sunda (Danadiberata:2006) sepadan dengan kata “kabuyutan” yang mempunyai beberapa makna antara lain: hulu air, hutan, tempat tinggal manusia, dan juga barang-barang kerajaan yang dikeramatkan. Sakralitas kabuyutan sebenarnya bukan disebabkan karena daya magisnya, melainkan karena vitalitasnya bagi kelangsungan hidup manusia. Dengan kata lain, sakralitas kabuyutan tersebut ditujukan untuk menjamin semua yang dibutuhkan manusia itu tersedia di alam.
Hal tersebut tertulis dalam naskah Siksa Kandang Karesian (630) yang ditulis pada abad ke 15 dan berikut ini saya kutipkan dari terjemahannya Danasasmita (1987): Ini pakeun urang ngretakeun bumi lamba, caang jalan, panjang tajur, paka pridana, linyih pipir, caang buruan. Sangkilang di lamba, trena taru lata galuma, hejo lembok tumuwuh sarba pala wo(h)wohan, dadi na hujan, landung3 tahun, tumuwuh daek, maka hurip na urang reya. (par.4). Artinya: Ini (jalan) untuk kita menyejahterakan dunia kehidupan. Seluruh penopang kehidupan; Rumput, pohon-pohonan, rambat. semak, hijau su¬bur tumbuhnya segala macam buah-buahan, banyak hujan, pepohonan tinggi karena subur tumbuhnya, memberikan kehidupan kepada orang banyak.
Mengingat pentingnya kabuyutan, maka dalam naskah Amanah Galunggung (633) ditegaskan bahwa kabuyutan harus dijaga dari kemungkinan orang luar merebutnya. Poin pentingnya, menjaga kabuyutan sama dengan menjaga kehormatan. Salah satu butir dari amanah galunggung menyebutkan: Lebih berharga kulit musang yang berada di tempat sampah dari pada raja putra yang tidak bisa mempertahankan tanah airnya(p.3). Dengan cara bagaimana kabuyutan tersebut harus dijaga? Ada sebuah teks danding yang berhubungan dengan persoalan ini yang mengatakan:
Cikeruh Ulah Rek Kiruh,
Kuduna Canembrang Herang
Nya Ieu Sirah Cai Cisempur,
Kudu Dirumat Sangkan Hirup Makmur
Didieu Tapak Sasaka,
Sirah Walungan Jadi Pusaka
Lamun Hirup Hayang Nanjung,
Piara Ieu Sirah Cikapundung
Ieu Sasaka Jadi Amanat,
Sirah Cai Kudu Dirumat
Ciri Bakti ka Lemah Cai,
Ku Miara Ieu Sirah Cai.
Cikeruh tidak boleh keruh
Harus tetap bersih dan bening
Inilah hulu air Cisempur
Harus diruwat agar hidup makmur
Disini jejak sasaka
Hulu sungai jadi pusaka
Kalau hidup ingin makmur sejahtera
Peliharalah hulu air Cikapundung ini
Sasaka ini jadi amanat
Hulu air mesti diruwat
Tanda bakti ke tanah air
Dengan memelihara Hulu air ini
Menjaga hulu air adalah salah satu cara menjaga kabuyutan. Amanah dalam danding di atas berisi sebuah etika bagaimana masyarakat sunda memperlakukan air. Karena air sangat penting bagi kesejahteraan manusia, maka air harus dijaga dan hormati dengan cara meruwatnya. Saya kira danding tersebut ketika dihubungkan dengan danding lain akan terlihat ada muatan ajaran kesiap-siagaan dalam menghadapi bencana. Danding tersebut adalah sebagai berikut:
Gununu-gunung di barubuh,
Tatangkalan di tuaran,
Cai Caah babanjiran,
Buana marudah motah.
Gunung-gunung diurug
Pohon-pohon di tebang
Air bah membanjiri
Bumi pun bergonjang-ganjing (gempa)
Sederhananya, meruwat hulu air juga berhubungan dengan persoalan kerusakan lingkungan dan faktor-faktor kebencanaan. Ketika hutan-hutan ditebang, datangnya banjir di musim hujan dan keringnya air sungai di musim kemarau plus gempa yang datang tiba-tiba, maka tidak lain ada hubungannya dengan perbuatan manusia.
Dengan demikian ruwatan adalah salahsatu cara mitigasi bencana, agar lingkungan tetap dijaga jangan sampai rusak. Kalaupun terjadi kerusakan, maka yang harus diperbaiki bukan hanya daerah yang berada di daerah rendah saja, melainkan juga dari hulu sungainya. Langkah tersebut adalah perbaikan kerusakan dari sumber masalah penyebab munculnya bencana, bukan dari peri-peri, apalagi dari hilir.
Mitos-mitos air (banjir dan tsunami)
Dalam pemahaman masyarakat Sunda, air bukan hanya menjadi identitas komunitas, tradisi ritual dan pandangan hidup, tetapi juga menjadi penghias mitos-mitos yang berkembang di masyarakat. Memang mitos tersebut tidak berbicara air secara langsung, namun sebagaimana umumnya mitos yang menyembunyikan kearifan dalam narasi yang samar dan simbol-simbol yang multitafsir. Di balik narasi dan simbol tersebut pada dasarnya terselip pesan-pesan masyarakat agar sadar bencana.
Setidaknya saya menggarisbawahi dua mitos yang saya sebut sebagai mitos banjir dan mitos tsunami. Mitos banjir terdapat dalam Sangiyang Tikoro. Sebetulnya mitos tersebut hanya berkembang di daerah Bandung dan sekitarnya. Kemudian mitos tsunami yang terdapat dalam cerita Nyi (Kangjeng) Ratu Kidul. Kedunya akan di bahas secara singkat di bawah ini.
Mitos Sanghyang Tikoro masih terdengar di Bandung yang disebarkan dari mulut ke mulut. Mitos ini kelihatannya muncul atas refleksi kondisi topografis daerah Bandung yang berupa cekungan berbentuk kuali. Daerah yang model ini rawan terkena genangan banjir, terutama daerah rendahnya. Refleksi tersebut kemudian didukung oleh pengetahuan yang menunjukkan bahwa Bandung pada awalnya adalah danau raksasa yang terjadi sejak ribuan tahun lalu.
Dr. F. Klom (1956), professor Belanda yang pernah mengajar di ITB, berteori bahwa Bandung terbentuk dari pengeringan Danau Bandung Purba sejak 4000-3000 tahun yang lalu. Danau tersebut mengering karena airnya surut ke laut lewat saluran air yang bernama Sanghyang Tikoro. Arti sanghyang dalam bahasa Sunda berarti dewa, tikoro berarti tenggorokan. Lokasi dari Sanghyang Tikoro sendiri berada di pegunungan kapur Padalarang dan saat ini menjadi pintu saluran air Citarum.
Narasi mitologi Sanghyang Tikoro menyebutkan bahwa lokasi pengeringan danau purba tersebut sebenarnya berada di bawah tanah yang salurannya diapit oleh dua pintu batu. Pada suatu saat dipercaya kedua batu tersebut akan menutup saluran dan menyebabkan Bandung kembali menjadi danau raksasa. Bandung akan dilanda banjir bandang yang masyarakatnya tidak akan ada yang selamat kecuali yang naik ke gunung-gunung yang melingkari Bandung saat ini.
Selanjutnya, mitos Nyi Roro Kidul yang di dalamnya memuat pesan menghindari tsunami. Cerita Nyi Roro Kidul yang berkembang di Sunda dengan yang berkembang di Yogyakarta sedikit berbeda. Apabila dalam mitologi yang berkembang di Yogyakarta Nyi Roro Kidul banyak dibicarakan dalam hubungannya dengan tiga pusat kekuasaan yaitu Ratu Pantai Selatan, Keraton Yogyakarta dan Gunung Merapi. Pada Posisi tersebut Nyi Roro Kidul dianggap mempunyai hubungan istimewa dengan keraton. Ia berkuasa menghukum orang yang dianggap tidak menghormatinya dengan mendatangkan bencana atau pun meminta tumbal kematian.
Sementara dalam kepercayaan masyarakat Sunda, sebagaimana dituliskan oleh Robert Wessing dalam artikelnya A Prince from Sundenese (1997), lebih banyak berbicara asal-usul Nyi Roro Kidul serta rasionalisasi bahayannya. Umumnya orang Sunda percaya bahwa Nyi Roro Kidul adalah keturunan raja Sunda yang terusir dari kerajaan Padjajaran. Ia dikutuk menjadi gadis buruk rupa sehingga kemudian ia dibuang ke hutan. Agar penyakitnya sembuh, ia diharuskan mandi di pantai selatan. Karena ia mengingikan kesembuhan, ia akhirnya mandi di pantai selatan. Kesembuhanpun ia peroleh, namun ia tidak lagi kembali ke Padjajaran dan memilih menjadi ratu di Pantai Selatan.
Selain narasi versi di atas, ada versi lain yang beredar di masyarakat yang menyebutkan bahwa Nyi Roro Kidul adalah seorang gadis desa yang menceburkan dirinya ke laut gara-gara gagal menikah. Ia dendam kepada si calon suami dan bersumpah menjadikan siapapun orang Bandung yang mandi di laut sebagai korban pembalasan dendam.
Terlepas dari cerita mana yang benar, masyarakat Sunda umumnya tidak menekankan mitologi tersebut dari sisi mistisnya. Reaksi masyarakat terhadap mitos tersebut bukan pemujaan atau pemberian sesajen ke laut, tetapi anjuran agar orang sunda (khusunya Bandung) tidak mandi di Pantai Selatan untuk menghindari kemarahan dan balas dendam Nyi Roro Kidul.
Gambaran Nyi Roro Kidul sendiri umumnya dilukiskan sebagai “wanita cantik” yang datang dan memperlihatkan diri kepada manusia dengan mengendarai kereta kencana kebesarannya yang kemudian diikuti oleh ombak bergulung-gulung di belakangannya. Lukisan tersebut misalnya dapat dilihat di Samudra Beach Hotel Sukabumi ataupun di poster-poster yang dijual secara bebas di pasaran.
Ombak yang besar yang mengiringi Nyi Roro Kidul atau gambaran ombak sebagai Nyi Roro Kidul inilah yang dianggap sebagai bahaya sebenarnya oleh orang Sunda. Logikanya, kalau Tsunami adalah ombak yang sangat besar yang menghampiri daratan dan biasa terjadi di laut selatan, maka pada konteks tertentu, mitos Nyi Roro Kidul dapat disebut sebagai mitos menghindari bahaya Tsunami.
Oleh karena itu tidak heran jika kemudian Eko Yulianto, peneliti dari LIPI dalam buklet Selamat dari benacan Tsunami yang diterbitkan bekerjasama dengan Unesco (2006) menyebutkan bahwa ada kesamaan antara mitos Nyi Roro Kidul dengan cerita Smoong di kepulauan Simeulue. Smoong adalah perintah yang terdapat dalam nyanyian populer masyarakat Simulue warisan leluhurnya agar masyarakat pergi ke tempat yang tinggi ketika terjadi gempa di laut yang dipercaya dapat menimbulkan Tsunami.
Membentuk masyarakat yang siaga bencana
Pada saat ini sedang terjadi degradasi etik kearifan lokal. Perkembangan industri sedikit banyak merubah paradigma berpikir masyarakat. Misalnya sungai yang dalam konspesi pemikiran tradisional dimaknai sebagai tamsil hidup. Jika sungai, hutan, dan gunungnya hancur, manusia pun hancur. Dalam dunia agraris, sungai berfungsi untuk mengairi persawahan dan menyediakan air minum. Pada era industri sekarang sungai berubah fungsi menjadi tong sampah raksasa tempat pembuangan limbah industri.
Padahal kalau direfleksikan lebih jauh interpretasi philosophis dan mitologis menunjukkan bahwa perbuatan yang tidak sensitif lingkungan dapat mendatangkan bencana. Pandangan philosophis dan mitologis tentang air adalah semacam “alarm” agar masyarakat siap-siaga dalam menghadapi bencana yang ditimbulkan oleh air. Budaya alertness ini sangat diperlukan untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat dalam menghadapi ancaman, sekaligus juga menolong diri mereka sendiri supaya tidak menjadi korban bencana.
Kesiap-siagaan ini mungkin karena pandangan dunia masyarakat sunda tentang bencana tidak bersifat fatalistik, yang melihat sebuah kejadian sebagai hukuman dari tuhan, melainkan berkorelasi dengan perbuatan manusia. Cara berpikir yang dominan pada masyarakat lokal tentunya berbeda dengan cara berpikir barat modern yang hanya melihat alam sebagai objek untuk dikuasasi dan ditaklukkan. Penguasaan dan superioritas manusia atas alam adalah salah satu penyebab hancurnya ekosistem. Sebaliknya, cara berpikir ekologis dalam melihat alam dapat menghindari tindakan eksploitatif terhadap kekayaan alam dengan cara hidup berdampingan dengannya.
Tradisi dan ritual kemudian bukan hanya dapat dimaknai sebagai perbaikan hubungan antara makrokosmos dan mikrokosmos sehingga hubungan antara manusia dengan yang sakral dapat dipulihkan, namun juga mengandung sepirit mitigasi bencana. Selanjutnya mitologi mendekatkan masyarakat dengan pemikiran yang lebih sadar akan ancaman. Mitos mengkonstruksi kesadaran masyarakat akan bahaya yang ditimbulkan oleh kondisi alam dan bahaya yang tidak terduga.
Tidak begitu penting adanya Sanghyang Tikoro ataupun Nyi Roro Kidul, tapi yang terpenting adalah nilai-nilai ajaran supaya masyarakat berhati-hati dan siap-siaga dalam menghadapi kemungkinan bencana terburuk. Pemikiran yang berbentuk kesadaran identitas alam yang kemudian ditindaklanjuti dengan perintah menjaganyaseperti yang ada dalam tradisi lokal barangkali masih bisa diharapkan menghindarkan masyarakat dari bencana dalam konteks sekarang.[]